Bersua – Prof. M. Arief Amrullah, seorang pakar hukum pidana dari Universitas Jember (Unej), menyampaikan pendapatnya mengenai pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang kini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Menurutnya, penting untuk menjaga keseimbangan kewenangan di antara aparat penegak hukum (APH) agar tidak terjadi ketimpangan yang dapat menimbulkan masalah serius dalam sistem hukum di Indonesia. Dia mengingatkan bahwa jika ketimpangan kewenangan tidak diperbaiki dalam RKUHAP, hal itu akan berdampak buruk bagi penegakan hukum di tanah air.
Prof. Arief mengungkapkan bahwa pembahasan RKUHAP seharusnya lebih difokuskan pada reformasi sistem hukum yang dapat menciptakan penegakan hukum yang lebih efektif, transparan, dan berkeadilan. Dia menjelaskan bahwa esensi dari pembaruan ini adalah untuk mengubah sistem yang ada agar menjadi lebih baik, dengan menekankan pada keseimbangan kewenangan antarpenegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Jika RKUHAP justru memperburuk situasi, bukannya menjadi solusi, maka hal itu akan menjadi masalah baru yang menghambat proses penegakan hukum.
Pakar hukum ini juga mengusulkan agar kewenangan penyidikan dan penuntutan bisa lebih terintegrasi, bukan dengan menambah atau mengurangi kewenangan polisi dan jaksa yang dapat menyebabkan perselisihan sepihak antara kedua lembaga tersebut. RKUHAP, menurutnya, seharusnya menjadi momen penting untuk memperbaiki sistem hukum acara pidana di Indonesia, dengan mendorong adanya penghargaan terhadap diferensiasi fungsional antara lembaga-lembaga penegak hukum.
Prof. Arief menekankan pentingnya kolaborasi yang lebih efektif antara penyidik dan jaksa dalam sistem hukum Indonesia. Kolaborasi yang baik diharapkan dapat mempercepat proses hukum, menjaga transparansi, dan memberikan rasa keadilan yang lebih bagi masyarakat. Sistem yang efektif ini diyakini akan memperkuat kinerja aparat penegak hukum, menciptakan pengawasan yang lebih baik, dan mengurangi kesenjangan dalam penyelesaian perkara.
Di samping itu, ia juga menyoroti sejumlah potensi masalah dalam draf RKUHAP yang berpotensi mengganggu prinsip-prinsip dasar hukum, seperti keadilan, hak asasi manusia, dan transparansi hukum. Salah satu poin yang menjadi sorotannya adalah kewenangan berlebihan yang diberikan kepada jaksa. Salah satunya adalah penggunaan senjata api oleh jaksa, serta kewenangan yang sangat luas dalam hal penyadapan dan intelijen yang bisa saja disalahgunakan tanpa pengawasan yang memadai dari lembaga independen. Penyadapan, yang menyentuh privasi individu, dinilai berisiko melanggar hak asasi manusia jika tidak diawasi dengan ketat.
Prof. Arief mengingatkan bahwa penyadapan adalah tindakan yang sangat sensitif karena berhubungan dengan hak privasi setiap individu. Jika kewenangan penyadapan diberikan tanpa pengawasan lembaga yang independen, hal ini bisa membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, kewenangan tersebut bisa melanggar hak-hak individu, yang tentunya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi dalam setiap sistem hukum.
Dengan adanya reformasi hukum yang lebih komprehensif, Prof. Arief berharap RKUHAP dapat menjawab berbagai masalah hukum yang selama ini ada, sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia. Pembaruan ini diharapkan dapat menciptakan sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan memiliki perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik. Sebagai pakar hukum yang telah berpengalaman, Prof. Arief berharap proses pembahasan RKUHAP ini dapat mengutamakan keseimbangan kewenangan antar aparat penegak hukum dan menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan yang bisa merugikan masyarakat.
More Stories
Indonesia dan Fiji Perkuat Kerja Sama Bilateral serta Hubungan Regional
Judul: Serangan Siber di Bandara Malaysia, Peretas Minta Tebusan 10 Juta Dolar AS
Kasus Kekerasan Anak di Jepang Mencapai Rekor Tertinggi, Didominasi Kekerasan Psikologis